Minggu, 08 November 2009

Konteks Sosial Kurban


Irham Sya'roni
Kepala Pondok Pesantren Darul-Hikmah Yogyakarta

Dari tahun ke tahun, kuantitas pekurban (orang yang melakukan kurban) terus mengalami peningkatan. Buktinya, semakin banyak hewan kurban yang disembelih pada hari raya itu. Suatu realitas positif yang patut kita syukuri bahkan berbangga hati, ternyata kesadaran umat Islam untuk berkurban terus mengalami lonjakan.

Permasalahannya sekarang, apakah tingginya animo berkurban ini mengindikasikan semakin tingginya kesalehan para pekurbannya? Untuk menjawab ini, kita perlu meluangkan waktu dan memeras pikiran sejenak sembari memandang realitas empiris yang terjadi di sekeliling kita. Ada beberapa kemungkinan jawaban yang dapat dimunculkan,

Pertama, berkuran merupakan sebuah prestise, sehingga berkurban hanya berfungsi sebagai alat untuk mencari popularitas, menjaga gengsi, mendulang hegemoni, dan sebagai topeng untuk menutup borok diri. Dengan memberikan puluhan bahkan ratusan hewan kurban, publik akan menilai kita sebagai dermawan, manusia hero, orang hebat, kaya, dan sederet julukan mulia lainnya. Na'udzubillah, jika ini yang terjadi maka sia-sialah kurban yang kita sembelih. Untuk hypocrisy (kemunafikan) ini, tak ada balasan yang layak diberikan kecuali siksa neraka.

Kedua berkurban semata-mata karena iming-iming besarnya pahala dan nikmatnya surga. Harapan kita, hewan yang dikurbankan kelak akan menjadi kendaraan penyelamat tatkala melintasi shirath (jembatan) menuju surga, sebagaimana dituturkan oleh Nabi dalam beberapa hadisnya. Jika ini yang terjadi, berarti kita masih terjebak pada pemahaman sempit tentang agama. Agama hanya kita pahami sebagai sebuah ritual, yang tidak dapat memberikan kontribusi secara langsung kepada kemaslahatan sosial. Akibatnya, ibadah kurban tidak mampu melahirkan nilai praktis dalam kehidupan masyarakat. Kelompok ini memandang, ibadah dalam bentuk ritual lebih menjadi juru selamat daripada ibadah dalam bentuk sosial.

Ketiga, berkurban selain sebagai konkretisasi ketundukan diri kepada Sang Pencipta (kesalehan ritual) juga ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas moral dan sosial (kesalehan sosial) para pekurbannya. Kelompok ini memandang agama secara holistik dan komprehensif. Menurut mereka, ibadah dalam bentuk ritual an sich belum sempurna tanpa dibarengi ibadah dalam bentuk kepekaan dan kepedulian sosial.

Dengan pemaknaan seperti ini, berkurban tidak hanya berarti konkretisasi kepatuhan kepada Tuhan yang diterjemahkan melalui ritual an sich, tetapi lebih dari itu tercermin pula dalam perilaku sosial bermasyarakat. Sehingga secara moral dan sosial, kurban dapat melahirkan nilai praktis dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupan masyarakat, serta mampu memberikan kontribusi yang konstruktif untuk kemaslahatan manusia seluruhnya.

Dari tiga kemungkinan itu, kira-kira, termasuk kelompok berapakah masyarakat kita saat ini? Pertamakah, kedua, atau ketiga? Patut disangsikan jika kelompok ketiga yang menjadi jawaban kita. Melalui kacamata objektif, dengan sadar, tentulah kita akan menyalahkan dan membantah jawaban itu. Buktinya, sampai detik ini kita tetap bisa melihat substansi mentalitas negatif yang terus bersemayam dalam diri masyarakat. Agar kurban kita memiliki makna yang sempurna, sebagai ritual ketundukan sekaligus inspirator pengembangan kesalehan sosial, penulis memandang perlu mengemukakan makna sosial yang terkandung di dalam kurban sebagai pesan substansial bagi hamba-Nya di dunia.

Makna sosial kurban
Setiap yang dititahkan (disyari'atkan) Allah tentulah memiliki makna sosial, tak terkecuali ibadah kurban. Selain memiliki makna ritual, ibadah kurban juga mengandung makna sosial. Oleh karenanya, umat Islam yang merayakan Idul Kurban seharusnya berupaya menggali makna yang terkandung di dalamnya dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai ibadah kurban ini hanya menjadi rutinitas yang miskin makna, hanya sampai pada proses penyembelihan hewan kurban, mendistribusikannya dan pesta sate sepuas-puasnya.

Di antara makna sosial yang terkandung di dalam ritual kurban adalah: Pertama, dibebankannya ibadah ini bagi umat Islam yang mampu dan mendistribusikan dagingnya kepada kaum lemah menyiratkan pesan substansial kepada kita agar selalu bersemangat membantu meringankan penderitaan orang lain. Bantuan yang diberikan pun tidak selalu harus berupa materi, melainkan bisa dengan apa pun yang dapat kita sumbangkan demi penyelesaian problematika sosial masyarakat. Misalnya, sumbangan pikiran, motivasi, tenaga, dan lainnya.

Secara substansial, orang yang setiap tahun melaksanakan kurban belum dapat disebut 'berkurban' jika dalam dirinya tidak tertanam semangat membantu meringankan beban penderitaan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Sebaliknya, meskipun tidak memiliki kekayaan untuk melakukan kurban tetapi dalam dirinya telah mengkristal semangat meringankan beban penderitaan orang lain berarti mereka inilah (yang secara substansial) layak disebut pekurban sejati.

Kedua, ketundukan Ibrahim kepada Tuhannya membawa pesan moral kepada kita untuk senantiasa patuh kepada undang-undang dan aturan yang ada. Sebagai umat Islam sekaligus warga negara yang baik, kita harus menghargai hukum, undang-undang dan tata aturan yang berlaku di negeri ini, di samping tentunya mematuhi hukum dan undang-undang dari Tuhan itu sendiri, yang tersampaikan melalui scriptural Islam (Alquran dan Sunah Nabi).

Ketiga, menyembelih hewan berarti menyembelih sifat-sifat kebinatangan seperti egois, serakah, rakus, menindas, tidak mengenal aturan, norma atau etika, dan rela membunuh saudara demi keuntungan pribadi. Memperkaya diri sendiri, memonopoli seluruh sektor perekonomian, korupsi, penindasan terhadap masyarakat lemah, tidak taat aturan, bertindak amoral, arogan, dan apatis terhadap realitas sosial masyarakat yang memprihatinkan, menunjukkan bahwa kurban yang dilakukan belum mampu memberikan kontribusi positif untuk memperbaiki diri dan menata tatanan sosial yang lebih baik.

Keempat, disunahkannya menggemakan takbir sampai waktu ashar di akhir Hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) memperlihatkan kepada kita bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kekuasaan agung dan absolut. Oleh karenanya, tidaklah patut para pejabat negara, elite-kekuasaan, elite-politik, elite-ekonomi, dan manusia-manusia kaya, bertindak semena-mena terhadap manusia lain serta berjalan congkak di muka bumi ini.

Pemaknaan seperti inilah yang akan menemukan relevansinya dengan kondisi bangsa kita yang sedang didera banyak derita bencana dan multikrisis di segala sektor; krisis pemerintahan, moral, sosial, ekonomi, edukasi, dan sebagainya. Selamat Hari Raya Idul Adha 1427 H. Semoga kurban kita semua menjadi ibadah yang hakiki dan konteks ritual maupun sosial.

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=277171
30 Desember 2006

Sumber Gambar:
http://www.ilkhabergazetesi.com/wordpress/wp-content//2009/10/kurban004.jpg

Salah Kaprah Kurban

Kurban merupakan kegiatan penyembelihan hewan yang dilakukan pada hari raya haji dan tiga hari kemudian (10-13 Dzulhijah) sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Kurban dimaksudkan untuk menggembirakan kaum fakir miskin—-sebagaimana di hari Idul Fitri mereka digembirakan dengan zakat fitrah. Sejarah ibadah kurban bisa dilihat pada QS Ash-Shaffaat 102-107 yang mengisahkan Nabi Ibrahim AS.

Kurban hukumnya sunah bagi yang tidak mampu dan wajib bagi yang mampu. Dalam QS Al-Kautsar 1-2 disebutkan bahwa kurban dianggap “sejajar” dengan sholat. Apabila kita sudah diberi nikmat (mampu) kita diperintahkan untuk berkurban. Selain itu, nadzar untuk berkurban juga bisa menjadikan kurban sebagai wajib walaupun sebenarnya belum bisa dikatakan mampu.

Ukuran mampu menurut hadist berarti umat Islam yang cukup baligh dan berakal. Sementara mampu secara materi berarti mempunyai penghasilan melebihi nisab sebesar 93,6 gram emas (kira-kira Rp 20 juta per tahun atau Rp 1,6 juta per bulan).

Sayangnya, dalam perjalanannya kurban mengalami banyak pergeseran yang mungkin sudah tidak sesuai dengan tuntunannya.
Pesta Daging Besar-besaran

Fenomena yang terjadi saat ini, kurban bukan untuk menggembirakan fakir miskin, melainkan menjadi pesta daging besar-besaran. Yang jamak terjadi, daging kurban dibagikan kepada semua warga. Tak jarang seorang warga bisa mendapat jatah dobel. Si bapak sebagai shohibul dapat jatah, anaknya yang menjadi panitia mendapat bagian, istrinya yang membantu memasak juga dapat bagian. Belum lagi rumah mereka yang ada di perbatasan sehingga dapat jatah dari kelurahan A dan kelurahan B.

Padahal, dalam QS Al-Hajj 28 disebutkan dengan sangat jelas, “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” Kalau seluruh warga adalah fakir miskin, tidak masalah. Namun kalau tidak, tentu ini sudah menyalahi firman.

Dalam suatu hadist, disebutkan bahwa shohibul kurban berhak mendapat 1/3 bagian. Namun, karena kurban adalah soal keikhlasan dan shohibul kurban sehari-harinya (dianggap) sudah terbiasa makan daging, maka alangkah baiknya bila seluruh daging kurban diserahkan saja kepada fakir miskin.
Panitia Mendapat Bagian

Seperti sudah ditulis di atas, QS Al-Hajj 28 menyatakan bahwa orang yang berhak memakan daging kurban hanya fakir miskin dan orang yang berkurban. Panitia tidak mendapat hak atas daging kurban. Bandingkan dengan zakat. Dalam QS At-Taubah 60 disebutkan bahwa pengurus zakat berhak mendapat bagian.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.”

Karenanya, alangkah lebih baik bila panitia, penyembelih, dan pengurus yang terlibat dalam kegiatan tersebut tidak meminta bayaran karena semua merupakan hak fakir miskin. Bagian panitia bisa saja diambilkan dari bagian shohibul, tetapi dengan ijin. Atau, saweran saja di antara para shohibul untuk memberi “uang lelah” kepada panitia.
Kurban Atas Nama

Seringkali kita melihat kurban yang dilakukan dengan mengatasnamakan anak, istri, atau orang tua. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengatasnamakan kurban untuk anak atau istri—-asalkan mereka mampu.

Lagipula, berkaca pada cerita Nabi Ibrahim, kerjasama antara beliau, istrinya, dan Ismail, menunjukkan bahwa kurban bukan ibadah “sendirian.” Apabila dilakukan dengan ikhlas dan benar, insya Allah semua anggota keluarga juga ikut mendapatkan pahala.

Bagaimana dengan orang tua? Apabila orang tua belum mampu, maka anak harus “memampukan” orang tua, dengan cara memberikan sebesar nisab plus zakat. Kalau orang tua sudah meninggal, maka kurban hanya bisa dilakukan bila orang tua semasa hidupnya memang mampu dan berpesan (wasiat) untuk berkurban.
Kulit Dijual Lagi

Tak jarang panitia menjual kulit hewan kurban untuk kas masjid. Tentu saja hal ini tidak boleh dilakukan, karena hewan kurban adalah hak fakir miskin. Hal yang boleh dilakukan adalah menjual kembali kulit hewan kurban, lalu diserahkan kepada fakir miskin dalam bentuk uang atau dibelikan daging.

Ada juga panitia yang menjual kulit hewan kurban, menyimpan uangnya, lalu dibelikan hewan kurban lagi pada tahun yang akan datang. Hal ini tidak bisa dianggap “sah” karena telah melewati batas waktu yang ditentukan. Analoginya mirip dengan memberikan zakat fitrah sesudah sholat Ied atau menjalankan sholat ashar pada waktu masuk isya’.
Latihan dan Arisan Kurban

Di sekolah-sekolah, para guru dan murid biasanya mengumpulkan iuran (misal Rp 20 ribu per orang) untuk dibelikan kurban. Ada yang kemudian dimasak dan dimakan bersama, namun ada pula yang dibagikan kepada fakir miskin. Alasannya biasanya klasik: agar murid berlatih kurban.

Sebenarnya, ada yang kurang pas disini. Tuntunan kurban sudah jelas, bahwa satu ekor kambing untuk satu orang. Namun, agar daging yang diperoleh bisa lebih banyak, kurban sapi bisa dibagi untuk 7 orang dan unta bisa untuk 10 orang—-bukan iuran Rp 20 ribu lalu sama-sama dibelikan kambing atau sapi.

Ada kalanya di suatu instansi dilakukan kurban dengan cara arisan. Walaupun agak nyeleneh, cara ini boleh saja dilakukan, asalkan para anggota arisan sudah masuk kategori mampu.
Hitungan dan Penerima Kurban

Orang sering mengartikan misalkan seseorang berkurban lima ekor sapi, maka satu ekor dihitung sebagai kurban dan empat sisanya merupakan shodaqoh. Tentu saja hal ini tidak benar, karena dasar hukum kurban adalah keikhlasan—-tidak seperti zakat yang sudah ditentukan besarannya dan bila sisa akan dihitung sebagai shodaqoh.

Selain itu, ada juga sebagian yang menganggap bahwa daging kurban hanya untuk umat Islam. Hal ini jelas salah besar, karena peruntukkan daging kurban adalah untuk fakir miskin—-tanpa membedakan muslim dan non muslim. Menurut saya, justru dengan memberikan daging kurban kepada mereka yang non muslim akan menjadi salah satu selling point (syi’ar) agama.

Shohibul kurban memang berhak menunjuk penerima kurban, namun tentu saja harus memenuhi kriteria miskin dan sengsara.
Saran dan Himbauan

Kurban sejatinya merupakan ujian keikhlasan kita, jadi jangan berusaha untuk “bermain” atau “mengakali” ibadah kurban kalau tidak berani menanggung dosanya. Sebagaimana tertulis dalam QS Al-Anfal 28 dan At-Taghaabun 15, harta hanyalah cobaan buat kita. Ibrahim saja ikhlas diminta anaknya, masa kita hanya diminta sedikit harta saja sudah ribut nggak karuan?

Walaupun daging kurban boleh diambil oleh shohibul kurban sebagian, namun alangkah lebih baik bila diikhlaskan saja seluruhnya untuk fakir miskin. Selain itu, sangat memalukan bila shohibul kurban “nggondeli” untuk mendapatkan bagian daging kurban tertentu—-apalagi bila sampai terjadi saling rebut dan “cakar-cakaran.” Nabi Ibrahim saja mengikhlaskan seluruh bagian tubuh Ismail, masa kita nggak?

Lebih dari itu, kisah nabi Ibrahim sebenarnya juga mengajarkan kita akan keluarga yang sakinah. Ibrahim mendapat ujian dari Allah SWT, namun mau berkomunikasi dan meminta pendapat dengan anak dan istrinya. Di sisi lain, anak dan istrinya menghormati dan mendukung keputusan ayahnya, sehingga terjalin sinergi yang apik dalam keluarga tersebut.

Model keluarga Ibrahim inilah yang seharusnya kita contoh. Keikhlasan menjadi laying foundation dalam kehidupan berkeluarga. Anak menghormati orang tua, sementara orang tua juga menghormati anaknya. Orang tua mendidik anak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, sementara anak mendengarkan dan mematuhi nasehat orang tua di jalan Allah SWT.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita berkurban hanya untuk mencari daging atau ingin mencari iman dan takwa yang sesungguhnya?

Sumber :
http://nofieiman.com/2007/12/salah-kaprah-kurban/
18 Desember 2007

Dan Berkurbanlah !

Oleh: Ulis Tofa, Lc

Syariat berkurban merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena berkurban mulai diperintahkan saat Nabiyullah Adam ‘alaihis salam tidak menemukan cara yang adil dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan kurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berkurban dengan ternaknya –unta- dan Qabil berkurban dengan tanamannya –gandum-.

Sampai disini Allah swt sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang dengan suka-rela menerima perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil dengan ikhlas mempersembahkan kurbannya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan perintah berkurban, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.

Syariat berkurban dilanjutkan dengan Nabi-Nabi berikutnya:

“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34

Peristiwa berkurban paling fenomenal dibuktikan oleh Bapak Tauhid, Khalilullah, Ibrahim Alaihissalam. Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan Allah swt untuk menyembelih putra semata wayangnya, Isma’il alaihissalam. Ujian berat menyergapnya, antara melaksanakan perintah Allah swt atau membiarkan hidup putranya dengan tidak melaksanakan perintah Allah swt, toh putranya nanti akan melanjutkan perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Bisa menjadi pembelaan diri dan pembenaran pilihan.

Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.”

Rangkaian kisah hebat itu Allah swt rekam dalam Al-Qur’an,

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian. (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” A(s-Shaffat:100-110)

Nikmat Allah

Syariat itu kembali diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, Nabiyullah Muhammad saw dan kita sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat pendek, surat Al-Kautsar: 1-3

“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”

Sebelum Allah swt memerintahkan berkurban, terlebih dulu Allah swt mengingatkan betapa nikmat pemberian Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga kautsar di surga.

Kalau kita mencoba merenung, nikmat Allah swt yang besar adalah nikmat diciptakanya kita sebagai manusia. Makhluk Allah swt yang paling mulya dan paling baik bentuknya, “ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tiin:4)

Nikmat menjadi peran khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)

Nikmat anggota badan yang begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat mahalnya kesehatan itu ketika satu mata dihargai ratusan juta. Makanya Allah swt kembali mengingatkan “Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (Adz-Dzariyat:21)

Dan yang paling besar anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri,

”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma’idah:3)

Hakekat Berkurban

Setelah Allah swt menyebut nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swt mengingatkan hamba-hamba-Nya agar mau melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat lima waktu atau shalat Idul Adha dan berkurban sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.

Bahkan Rasulullah saw memerintahkan berkurban dengan bahasa yang tegas dan lugas bahkan disertai ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat shalat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad.

“Dari Abu Hurairah ra., nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).

Berkurban tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan kurban, namun lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya.

Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya melaksanakan dengan baik tanpa ragug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim.

Berkurban adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban.

Atau seperti Qabil yang menuruti logika otaknya dan kemauan syahwatnya, sehingga dengan perintah berkurban itu, ia malah melanggar perintah Allah swt dengan membunuh saudara kembarnya sendiri? Ia berusaha mensiasati perintah Allah swt dengan kemauannya sendiri yang menurutnya baik. Namun di situlah letak permasalahannya: ia tidak percaya perintah Allah swt.?

Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan.

Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berkurban dengan ilmunya. Pengusaha ia berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.

Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt.

Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Biidznillah.

Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya,

”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)

Dan berkurbanlah. Kurban menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi beban dan keterpaksaan. Karena memang kurban tidak sekedar memotong hewan. Allahu A’lam.

Sumber :
http://www.dakwatuna.com/2007/dan-berkurbanlah/
3 Desember 2007

Membangun Kembali Semangat Berqurban

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA


Allahu Akbar- ALLahu Akbar- Allahu Akbar – WaliLlahil Hamd.

Jama’ah Idul Adha yang senantiasa mengharapkan ridha Allah swt.

Alhamdulillah, tentu merupakan satu kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terhingga bahwa pada hari ini kita merayakan hari raya Idul Adha, hari raya terbesar bagi umat Islam yang bersifat internasional, setelah dua bulan sebelumnya kita merayakan hari raya Idul Fithri. Pada hari ini sekitar tiga juta umat Islam dari beragam suku, bangsa dan ras serta dari berbagai tingkat sosial dan penjuru dunia berkumpul dan berbaur di kota suci Makkah Al-Mukarramah untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji: “Dan serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 27)

Hari raya Idul Adha juga merupakan hari raya istimewa karena dua ibadah agung dilaksanakan pada hari raya ini yang jatuh di penghujung tahun hijriyah, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Kedua-duanya disebut oleh Al-Qur’an sebagai salah satu dari syi’ar-syi’ar Allah swt yang harus dihormati dan diagungkan oleh hamba-hambaNya. Bahkan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah merupakan pertanda dan bukti akan ketaqwaan seseorang seperti yang ditegaskan dalam firmanNya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Al-Hajj: 33) Atau menjadi jaminan akan kebaikan seseorang di mata Allah seperti yang diungkapkan secara korelatif pada ayat sebelumnya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya”. (Al-Hajj: 30)

Kedua ibadah agung ini yaitu ibadah haji dan ibadah qurban tentu hanya mampu dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah yang merupakan makna ketiga dari hari raya ini: “Qurban” yang berasal dari kata “qaruba – qaribun” yang berarti dekat. Jika posisi seseorang jauh dari Allah, maka dia akan mengatakan lebih baik bersenang-senang keliling dunia dengan hartanya daripada pergi ke Mekah menjalankan ibadah haji. Namun bagi hamba Allah yang memiliki kedekatan dengan Rabbnya dia akan mengatakan “Labbaik Allahumma Labbaik” – lebih baik aku memenuhi seruanMu ya Allah…Demikian juga dengan ibadah qurban. Seseorang yang jauh dari Allah tentu akan berat mengeluarkan hartanya untuk tujuan ini. Namun mereka yang posisinya dekat dengan Allah akan sangat mudah untuk mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata memenuhi perintah Allah swt.

Mencapai posisi dekat “Al-Qurban/Al-Qurbah” dengan Allah tentu bukan merupakan bawaan sejak lahir. Melainkan sebagai hasil dari latihan (baca: mujahadah) dalam menjalankan apa saja yang diperintahkan Allah. Karena seringkali terjadi benturan antara keinginan diri (hawa nafsu) dengan keinginan Allah (ibadah). Disinilah akan nyata keberpihakan seseorang apakah kepada Allah atau kepada selainNya. Sehingga pertanyaan dalam bentuk “muhasabah: evaluasi diri ” dalam konteks ini adalah: “mampukan kita mengorbankan keinginan dan kesenangan kita karena kita sudah berpihak kepada Allah?…Sekali lagi, ibadah haji dan ibadah qurban merupakan gerbang mencapai kedekatan kita dengan Allah swt.

Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLLahil Hamd

Icon manusia yang begitu dekat dengan Allah yang karenanya diberi gelar KhaliluLlah (kekasih Allah) adalah Ibrahim. Sosok Ibrahim dengan kedekatan dan kepatuhannya secara paripurna kepada Allah tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Idul Adha, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Dalam ibadah haji, peran nabi Ibrahim tidak bisa dilepaskan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya berawal dari panggilan nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah swt dalam firmanNya: “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ serta sujud. Dan kemudian serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 26-27).

Ibadah ini harus diawali dengan kesiapan seseorang untuk menanggalkan seluruh atribut dan tampilan luar yang mencerminkan kedudukan dan status sosialnya dengan hanya mengenakan dua helai kain ‘ihram’ yang mencerminkan sikap tawaddu’ dan kesamaan antar seluruh manusia. Dengan pakaian sederhana ini, seseorang akan lebih mudah mengenal Allah karena dia sudah mengenal dirinya sendiri melalui ibadah wuquf di Arafah. Dengan penuh kekhusyu’an dan ketundukkan seseorang akan larut dalam dzikir, munajat dan taqarrub kepada Allah sehingga ia akan lebih siap menjalankan seluruh perintahNya setelah itu. Dalam proses bimbingan spritual yang cukup panjang ini seseorang akan diuji pada hari berikutnya dengan melontar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syetan dan terhadap setiap yang menghalangi kedekatan dengan Rabbnya. Kemudian segala aktifitas kehidupannya akan diarahkan untuk Allah, menuju Allah dan bersama Allah dalam ibadah thawaf keliling satu titik fokus yang bernama ka’bah. Titik kesatuan ini penting untuk mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia: “katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. (Al-An’am: 162)Akhirnya dengan modal keyakinan ini, seseorang akan giat berusaha dan berikhtiar untuk mencapai segala cita-cita dalam naungan ridha Allah swt dalam bentuk sa’I antara bukit shafa dan bukit marwah. Demikian ibadah haji sarat dengan pelajaran yang kembali ditampilkan oleh Ibrahim dan keluarganya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumuLlah.

Dalam ibadah qurban, kembali Nabi Ibrahim tampil sebagai manusia pertama yang mendapat ujian pengorbanan dari Allah swt. Ia harus menunjukkan ketaatannya yang totalitas dengan menyembelih putra kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian lama. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102). Begitulah biasanya manusia akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.

Jama’ah Shalat Idul Adha RahimakumuLlah.

Andaikan Ibrahim manusia yang dha’if, tentu akan sulit untuk menentukan pilihan. Salah satu diantara dua yang memiliki keterikatan besar dalam hidupnya; Allah atau Isma’il. Berdasarkan rasio normal, boleh jadi Ibrahim akan lebih memilih Ismail dengan menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Allah tersebut. Namun ternyata Ibrahim adalah sosok hamba pilihan Allah yang siap memenuhi segala perintahNya, dalam bentuk apapun. Ia tidak ingin cintanya kepada Allah memudar karena lebih mencintai putranya. Akhirnya ia memilih Allah dan mengorbankan Isma’il yang akhirnya menjadi syariat ibadah qurban bagi umat nabi Muhammad saw.

Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan bahwa Isma’il adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Isma’ilnya nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa Isma’il kita? Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Isma’il kita yang karenanya akan diuji dengan itu. Kecintaan kepada Isma’il itulah yang kerap membuat iman kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah. Kecintaan kepada Isma’il yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan. Allah mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya: “Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“. (At-Taubah: 24)

Karena itu, dengan melihat keteladanan berqurban yang telah ditunjukkan oleh seorang Ibrahim, apapun Isma’il kita, apapun yang kita cintai, qurbankanlah manakala Allah menghendaki. Janganlah kecintaan terhadap isma’il-isma’il itu membuat kita lupa kepada Allah. Tentu, negeri ini sangat membutuhkan hadirnya sosok Ibrahim yang siap berbuat untuk kemaslahatan orang banyak meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.

Hadirin Jama’ah Shalat Idul Adha yang berbahagia.

Keta’atan yang tidak kalah teguhnya dalam menjalankan perintah Allah adalah keta’atan Isma’il untuk memenuhi tugas bapaknya. Pertanyaan besarnya adalah: kenapa Isma’il, seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya?. Bagaimanakan Isma’il memiliki kepatuhan yang begitu tinggi?. Nabi Ibrahim senantiasa berdoa: “Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang shalih (Ash-Shaffat: 100). Maka Allah mengkabukan doanya: “Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim bahwa kelak dia akan mendapatkan ghulamun halim”. (Ash-Shaffat: 101). Inilah rahasia kepatuhan Isma’il yang tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan. Sosok ghulamun halim dalam arti seorang yang santun, yang memiliki kemampuan untuk mensinergikan antara rasio dengan akal budi tidak mungkin hadir begitu saja tanpa melalui proses pembinaan yang panjang. Sehingga dengan tegar Isma’il berkata kepada ayahandanya dengan satu kalimat yang indah: : “Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah, niscaya ayah akan mendapatiku seorang yang tabah hati, insya Allah”. (Ash-Shaffat: 102)

Orang tua mana yang tak terharu dengan jawaban seorang anak yang ringan menjalankan perintah Allah yang dibebankan kepada pundak ayahandanya. Ayah mana yang tidak terharu melihat sosok anaknya yang begitu lembut hati dan perilakunya. Disinilah peri pentingnya pendidikan keagamaan bagi seorang anak semenjak mereka masih kecil lagi, jangan menunggu ketika mereka remaja apalagi dewasa. Sungguh keteladanan Ibrahim bisa dibaca dari bagaimana ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang berpredikat ‘ghulamun halim’.

Allahu Akbar-Allahu Akbar-Allahu Akbar WaliLlahil Hamd

Setelah mencermati dua pelajaran kehidupan keberagamaan yang sangat berharga di atas, Prof. Dr. Mushthafa Siba’i pernah mengajukan pertanyaan menarik yang menggugah hati: “Akankah seorang muslim di hari raya ini menjadi sosok egois yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain? Ataukah ia akan menjadi pribadi yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya, lalu mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan dirinya tersebut?

Memang secara fithrah, manusia cenderung bersikap egois dan mementingkan diri sendiri. Ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya. Namun demikian, disamping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasama tersebut ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia.

Dalam hal ini, tentu kita sepakat bahwa kita sangat berhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama, muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan untuk ilmu pengetahuan: “Aku begadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan, lebih ni`mat bagiku dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang dengan wanita yang cantik Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan satu masalah ilmu pengetahuan lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat”.

Hadirin wal Hadirat RahimakumuLlah.

Kita juga sadar bahwa kita berhutang budi dalam memanfaatkan negeri ini kepada orang tua generasi pendahulu, para perintis dan mereka yang telah berjasa untuk itu. Kita juga berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama yang kita banggakan ini, kepada generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam mempertahankan risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan harta dan jiwa mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini.

Demikian sungguh pelajaran yang sangat berharga. Kita selaku generasi masa kini telah berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangkaian pengorbanan mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generasi berikutnya seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelum kita. Akankah generasi kita saat ini mampu menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain? Apakah generasi kita mampu mempertahankan akhlak luhur seperti ini yang memang telah diperintahkan oleh Allah swt?. “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9)

Disini hari raya Idul Adha kembali hadir untuk mengingatkan kita akan ketinggian nilai ibadah haji dan ibadah qurban yang sarat dengan pelajaran kesetiakawanan, ukhuwwah, pengorbanan dan mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Semoga akan lahir keluarga-keluarga Ibrahim berikutnya dari bumi tercinta Indonesia ini yang layak dijadikan contoh teladan dalam setiap kebaikan untuk seluruh umat.

Sumber :
http://www.dakwatuna.com/2008/membangun-kembali-semangat-berqurban/
19 November 2008

Idul Adha dan Ibadah Kurban

Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai nabi Ibrahim dan nabi Ismail alaihimus salam. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.

Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah swt. menggambarkan kejujuran nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:

Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya.

Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”

Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab:

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah.

Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”

Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak, melainkan kedua belah pihak baik dari Ibrahim maupun Ismail. Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 seteleh itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”

Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul istislam. Nabi Ibrahim dan nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah swt. yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah swt. mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha. Supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada nabi Ibrahim dan nabi Ismail.

Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan nabi Ibrahim dan nabi Islamil dalam kehidupan sehari-hari.

Yang perlu dikritisi dalam hal ini, adalah bahwa banyak orang Islam masih mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan. Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan diabaikan. Bukankah Allah berfirman udkhuluu fissilmi kaafaah? Tapi di manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam? Karena itu, setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, yang pertama kali harus kita gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.

Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian.

Berapa banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja, sementara setelah kembali ke negerinya, mereka kembali berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallahu a’lam bishshawab.

Sumber :
http://www.dakwatuna.com/2008/idul-adha-dan-ibadah-kurban/
19 November 2008

Mengirim Pahala Kurban

Pertanyaan
Bagaimana hukum berkurban untuk orang yang sudah meninggal?

Ustadz Kholid Syamhudi menjawab:

Menjawab pertanyaan diatas, berikut kami bawakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yang kami ambil dari kitab Ahkam Al-Adhahi wal Dzakaah, dengan beberapa tambahan referensi lainnya.

Pada asalnya, kurban disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah dan para shahabat telah menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya. Adapun persangkaan orang awam adanya kekhususan kurban untuk orang yang telah meninggal, maka hal itu tidak ada dasarnya.

Kurban bagi orang yang sudah meninggal, ada tiga bentuk.

[1]. Menyembelih kurban bagi orang yang telah meninggal, namun yang masih hidup disertakan. Contohnya, seorang menyembelih seekor kurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia.

Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan kurban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dirinya dan ahli baitnya, dan diantara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih yang berbunyi.

“Artinya : Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id Al-Adha di musholla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya. Lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih) [1]. Ini meliputi yang masih hidup atau telah mati dari umatnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Diperbolehkan menyembelih kurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya, anak-anaknya dan orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat” [2] Dasarnya ialah hadits Aisyah, beliau berkata.

“Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih sebagai kurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), “Wahai , Aisyah, bawakan pisau”, kemudian beliau berkata : “Tajamkanlah (asahlah) dengan batu”. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabil pisau tersebut dan mengambil domba, lalu menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan : “Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad”, kemudian menyembelihnya” [Riwayat Muslim]

Sehingga seorang yang menyembelih kurban seekor domba atau kambing untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat diperoleh juga oleh ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum, maka masuk dalam ahli bait semua yang termaktub dalam ahli bait tersebut, baik secara adat mupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat, yaitu seluruh orang yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak atau kerabat. Adapun menurut bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak turunan kakeknya, serta anak keturunan kakek bapaknya.

[2]. Menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan tuntunan wasiat yang disampaikannya. Jika demikian, maka wajib dilaksanakan sebagai wujud dari pengamalan firman Allah.

“Artinya : Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Baqarah : 181]

Dr Abdullah Ath-Thayaar berkata : “Adapun kurban bagi mayit yang merupakan wasiat darinya, maka ini wajib dilaksanakan walaupun ia (yang diwasiati) belum menyembelih kurban bagi dirinya sendiri, karena perintah menunaikan wasiat” [3]

[3]. Menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup (bukan wasiat dan tidak ikut yang hidup) maka inipun dibolehkan.

Para ulama Hambaliyah (yang mengikuti madzhab Imam Ahmad) menegaskan bahwa pahalanya sampai ke mayit dan bermanfaat baginya dengan menganalogikannya kepada shadaqah. Ibnu Taimiyyah berkata : “Diperbolehkan menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih kurban dan yang lainnya di kuburan” [4]

Akan tetapi, kami tidak memandang benarnya pengkhususan kurban untuk orang yang sudah meninggal sebagai sunnah, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi was al sallam tidak pernah mengkhususkan menyembelih untuk seorang yang telah meninggal. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembelih kurban untuk Hamzah, pamannya, padahal Hamzah merupakan kerabatnya yang paling dekat dan dicintainya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pula menyembelih kurban untuk anak-anaknya yang meninggal dimasa hidup beliau, yaitu tiga wanita yang telah bersuami dan tiga putra yang masih kecil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak menyembelih kurban untuk istrinya, Khadijah, padahal ia merupakan istri tercintanya. Demikian juga, tidak ada berita jika para sahabat menyembelih kurban bagi salah seorang yang telah meninggal.

Demikian sedikit ulasan berkenaan dengan kurban bagi orang yang telah meninggal.

Sumber :
http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/mengirim-pahala-kurban/
23 November 2008

Kitab Kurban

1. Waktu kurban

Hadis riwayat Jundab bin Sufyan ra., ia berkata:
Aku pernah berhari raya kurban bersama Rasulullah saw. Beliau sejenak sebelum menyelesaikan salat. Dan ketika beliau telah menyelesaikan salat, beliau mengucapkan salam. Tiba-tiba beliau melihat hewan kurban sudah disembelih sebelum beliau menyelesaikan salatnya. Lalu beliau bersabda: Barang siapa telah menyembelih hewan kurbannya sebelum salat (salat Idul Adha), maka hendaklah ia menyembelih hewan lain sebagai gantinya. Dan barang siapa belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah. (Shahih Muslim No.3621)

Hadis riwayat Barra' ra., ia berkata:
Pamanku, Abu Burdah ra. menyembelih kurban sebelum salat (Idul Adha) lalu Rasulullah saw. bersabda: Itu adalah kambing daging untukmu semata bukan kurban dan tidak ada pahala kurban. Abu Burdah berkata: Ya Rasulullah saw., aku mempunyai kambing kacang yang masih muda (kira-kira berumur dua tahun). Rasulullah saw. bersabda: Sembelihlah itu, tetapi bagi orang selainmu tidak boleh (tidak sah), kemudian beliau melanjutkan: Barang siapa menyembelih kurban sebelum salat, maka ia menyembelih hanya untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa menyembelih sesudah salat, berarti sempurnalah ibadahnya (kurbannya) dan menepati sunah kaum muslimin. (Shahih Muslim No.3624)

Hadis riwayat Anas bin Malik ra. beliau berkata:
Rasulullah saw. bersabda pada hari Raya Kurban: Barang siapa telah menyembelih kurbannya sebelum salat, maka hendaklah ia mengulangi. Seorang lelaki berdiri dan berkata: Ya Rasulullah, ini adalah hari di mana daging dibutuhkan. Lalu ia menuturkan hajat para tetangganya seakan-akan Rasulullah saw. mempercayainya. Orang itu meneruskan: Aku mempunyai kambing muda (jadzaah) yang lebih aku sukai daripada dua ekor kibas. Bolehkah aku menyembelihnya (sebagai kurban). Rasulullah saw. memberinya kemurahan. Kata Anas: Aku tidak tahu apakah kemurahan itu juga sampai kepada orang selain ia atau tidak. Kemudian Rasulullah saw. menghampiri dua ekor kibas, lalu beliau menyembelih keduanya. Orang-orang menuju ke kambing dan membagi-bagikannya (memotong-motongnya). (Shahih Muslim No.3630)

2. Umur hewan kurban

Hadis riwayat Uqbah bin Amir ra.:
Bahwa Rasulullah saw. memberinya kambing-kambing untuk dibagikan kepada para sahabat sebagai kurban. Lalu tinggallah seekor anak kambing kacang. Uqbah melaporkannya kepada Rasulullah saw. maka beliau bersabda: Sembelihlah itu olehmu! Perkataan Qutaibah kepada kawannya. (Shahih Muslim No.3633)

3. Sunah berkurban dan menyembelih sendiri, tanpa mewakilkan, serta menyebut nama Allah dan takbir

Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Nabi saw. berkurban dengan dua ekor kibas berwarna putih agak kehitam-hitaman yang bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri, seraya menyebut asma Allah dan bertakbir (bismillahi Allahu akbar). Beliau meletakkan kaki beliau di atas belikat kedua kambing itu (ketika hendak menyembelih). (Shahih Muslim No.3635)

4. Boleh menyembelih dengan apa saja yang dapat menumpahkan darah, kecuali gigi, kuku dan tulang

Hadis riwayat Rafi` bin Khadij ra., ia berkata:
Saya berkata kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasulullah, kami akan bertemu musuh besok sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Rasulullah saw. bersabda: Segerakanlah atau sembelihlah dengan apa saja yang dapat menumpahkan darah dan sebutlah nama Allah, maka engkau boleh memakannya selama alat itu bukan gigi dan kuku. Akan kuberitahukan kepadamu: Adapun gigi maka itu adalah termasuk tulang sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah. Kemudian kami mendapatkan rampasan perang berupa unta dan kambing. Lalu ada seekor unta melarikan diri. Seseorang melepaskan panah ke arah unta itu sehingga unta itupun tertahan. Rasulullah saw. bersabda: Memang unta itu ada juga yang liar seperti binatang-binatang lain karena itu apabila kalian mengalami keadaan demikian, maka kalian dapat bertindak seperti tadi. (Shahih Muslim No.3638)

5. Menerangkan larangan makan daging kurban setelah tiga hari pada permulaan Islam, serta menerangkan penghapusan larangan tersebut dan diperbolehkan hingga sekarang

Hadis riwayat Ali bin Abu Thalib ra.:
Dari Abu Ubaid, ia berkata: Aku pernah salat Idul Adha bersama Ali bin Abu Thalib ra. Beliau memulai dengan salat terlebih dulu sebelum khutbah dan beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang kami makan daging kurban sesudah tiga hari. (Shahih Muslim No.3639)

Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Seseorang tidak boleh makan daging kurbannya lebih dari tiga hari. (Shahih Muslim No.3641)

Hadis riwayat Aisyah ra.:
Dari Abdullah bin Waqid ra. ia berkata: Rasulullah saw. melarang makan daging kurban sesudah tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar berkata: Hal itu aku sampaikan kepada Amrah, lalu dia berkata: Dia benar, aku mendengar Aisyah berkata: Pada zaman Rasulullah beberapa orang wanita badui berjalan perlahan-lahan menuju ke tempat penyembelihan kurban. Dan Rasulullah saw. bersabda: Simpanlah tiga hari, setelah itu sedekahkanlah apa yang masih tersisa. Suatu ketika setelah itu para sahabat berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang menyimpan daging kurban dan membawa sebagian dari lemaknya. Rasulullah bertanya: Mengapa begitu? Mereka menjawab: Dahulu engkau melarang makan daging kurban setelah tiga hari. Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya dahulu aku melarang kamu hanyalah karena orang-orang pendatang yang sedang menuju kemari. Dan sekarang silakan makan atau menyimpan atau bersedekah (dengan daging kurban tersebut). (Shahih Muslim No.3643)

Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.:
Dari Nabi saw. beliau melarang makan daging kurban sesudah tiga hari. Sesudah itu beliau bersabda: Makanlah, berbekal dan simpanlah. (Shahih Muslim No.3644)

Hadis riwayat Salamah bin Akwa` ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa di antara kalian menyembelih kurban, maka janganlah ia menyisakan sedikitpun di rumahnya sesudah tiga hari. Pada tahun berikutnya, orang-orang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah kami harus berbuat seperti tahun lalu? Rasulullah saw. menjawab: Tidak! Tahun itu (tahun lalu) kaum muslimin masih banyak yang kekurangan. Jadi aku ingin daging kurban itu merata pada mereka. (Shahih Muslim No.3648)

6. Fara` dan atirah

Hadis riwayat Abu Hurairah ra. beliau berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada lagi fara` (anak unta pertama yang disembelih untuk berhala-berhala mereka) dan tidak pula atirah (hewan ternak yang disembelih pada sepuluh hari pertama dari bulan Rajab). Ibnu Rafi` menambahkan dalam riwayatnya: Fara` adalah anak ternak pertama yang disembelih oleh pemiliknya. (Shahih Muslim No.3652)

Sumber :
http://hadith.al-islam.com/bayan/Tree.asp?Lang=IND, dalam :
http://opi.110mb.com/haditsweb/muslim/b35_kurban.htm

Penggabungan Aqiqah dengan Kurban

Ustadz Menjawab
bersama Ustadz Sigit Pranowo, Lc.

Assalamu'alaikum ustaz, Saya ada 2 pertanyaan:

1. Pada 'idul adha yang akan datang, saya akan melaksanakan aqikah anak saya (laki-laki) juga anak saudara saya (laki-laki), lalu jumlah kambingnya empat ekor, rencana akan saya tambah tiga ekor kambing lagi utk kurban agar menjadi 7 ekor (setara dgn seekor sapi). Bagaimana hukumnya kalau saya gabungkan 'aqikah ini dengan kurban, dan saya ganti 7 ekor kambing tadi menjadi seekor sapi?

2. Saya menyaksikan banyak masyarakat kita yang dalam pelaksanaan berkurban membentuk panitia, nah,, panitia itu mengambil daging kurban untuk dimasak dan dimakan oleh semua panitia yang bekerja yang jumlahnya juga banyak. Kadang daging yang diambil mencapai 25kg lebih, setelah itu juga panitia mendapat jatah sendiri-sendiri dari daging mentah kurban. Bagaimana persoalan ini dalam hukum Islam.

Abu Syarif


Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Abu Syarif yang dimuliakan Allah swt

Menggabungkan Aqiqah Anak-anak Dengan Sapi

Didalam permasalahan ini, seperti keinginan anda untuk menggabung kan aqiqah anak anda dengan anak saudara laki-laki anda dan menjadikannya satu ekor sapi maka para ulama berselisih pendapat didalam membolehkannya.

Diantara mereka ada yang melarangnya, yaitu dari kalangan para ulama Hambali sebagaimana tertera didalam kitab-kitab mereka. Al Mardawi didalam kitabnya “al Inshaf” mengataan bahwa sandainya seseorang beraqiqah dengan seekor onta atau sapi maka tidaklah diperbolehkan kecuali seluruhnya. Terdapat nash dari Ahmad bin Hambal bahwa dirinya melarang hal ini.

Sedangkan para ulama Syafi’i membolehkan bergabung dalam satu ekor onta atau sapi, demikian disebutkan Nawawi didalam kitab “Al Majmu’”

Jadi sebagai bentuk kehati-hatian didalam hal ini adalah meninggalkan penggabung tersebut karena tidak terdapat nash-nash yang menyebutkan penggabungan didalam permasalahan ini (aqiqah, pen). Dan sesungguhnya ibadah ditegakkan diatas tauqif, artinya berdiri diatas nash-nash yang terdapat didalam al Qur’an dan Sunnah.

Kemudian orang-orang yang membolehkan penggabung—kalangan Syafi’iyah—mengqiyaskan aqiqah dengan ibadah kurban dan daging sembelihan pada saat haji. (Fatawa Syabakah Islamiyah 2/1006)

Niat Menggabungkan Aqiqah dengan Kurban

Adapun tentang niat menggabungkan antara aqiqah dengan kurban didalam hari raya kurban maka terjadi perselisihan dikalangan ulama menjadi dua pendapat. Sebagian dari mereka ada yang membolehkan, yaitu madzhab Ahmad dan orang-orang yang sepakat dengannya.

Sementara sebagian lainnya melarangnya karena tujuannya berbeda. Tujuan dari kurban adalah sebagai tebusan atas diri sedangkan tujuan dari aqiqah adalah tebusan atas anak karena itu tidak bisa keduanya digabungkan.

Tidak diragukan lagi bahwa mengambil pendapat ini (yang kedua) adalah lebih utama bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki dan memiliki kemampuan untuk melakukannya. Dan bagi orang yang tidak memiliki kelapangan rezeki maka mengambil pendapat Imam Ahmad lebih utama. (www.islamweb.net)

Daging Untuk Panitia Qurban

DR. Wahbah mengatakan bahwa tidak diperbolehkan memberikan kulit kurban atau sesuatu yang lainnya kepada orang yang menyembelihnya bagai sebuah bayaran atas sembelihannya, sebagaimana riwayat dari Ali berkata,”Rasulullah saw telah memerintahkanku untuk mengurus tentang onta-onta (sembelihan) dan aku membagi-bagikan kulit dan dagingnya dan aku tidaklah memberikan kepada orang yang menyembelihnya sesuatu pun darinya (dari sembelihan itu, pen).” Dia mengatakan,”Kami memberikannya dari milik kami sendiri.” (Muttafa Alaihi)

Akan tetapi jika seorang penyembelih diberikan sesuatu dari daging sembelihannya itu dikarenakan kefakirannya atau atas dasar hadiah maka hal itu dibolehkan karena orang itu berhak untuk mengambilnya sebagaimana orang lain bahkan orang itu lebih utama karena dia adalah orang yang terlibat secara langsung dan telah mengucurkan keringatnya untuk itu (penyembelihan). (Al Fiqhul Islam wa Adillatuhu juz IV hal 2741)

Memang keberadaan panitia kurban sangat dibutuhkan untuk kelancaran pelaksanaan ibadah kurban ini. Namun demikian tidak diperbolehkan bagi panitia ini untuk mengambil sebagian dari daging-daging sembelihan itu untuk kemudian dimasak dan dimakan bersama-sama kecuali apabila mereka semua termasuk kedalam golongan orang-orang faqir atau setelah mendapatkan izin sebelumnya dari orang-orang yang berkurban sebagai suatu hadiah dari mereka.

Wallahu A’lam

Sumber :
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/penggabungan-aqikah-dengan-kurban.htm
2 November 2009

Kurban, Bukan Korban

Penyembelihan hewan kurban tidak dimaksudkan sebagai ajang latihan “menciptakan”korban

Terminologi “kurban” berbeda dengan “korban”. Kurban secara bahasa bermakna “mendekatkan”, dari kata qorroba, yuqarribu, qurbanun. Secara syar’i sebagaimana sunah Rasulullah SAW—kurban adalah penyembelihan hewan ternak (domba, sapi, atau unta) sebagai salah satu rangkaian perayaan Idul Adha (Hari Raya Haji).

Secara teologis, kurban adalah penapakan atas jejak tauhid nabi-nabi lewat kisah “pengurbanan” Ismail oleh Ibrahim; sebuah kisah yang menunjukkan betapa Ibrahim sanggup mempertaruhkan apa saja—termasuk perintah penyembelihan Ismail—demi kepatuhannya kepada Tuhan. Dengan memahami tiga elemen kurban di atas (bahasa, syar’i, dan teologis), maka setidaknya ada tiga pemahaman penting yang tidak boleh dilepaskan dari ibadah kurban.

Pertama, meskipun secara material mengandung sejumlah manfaat (dagingnya bisa dibagikan dan dikonsumsi fakir miskin), tetapi sesungguhnya penyembelihan hewan kurban lebih bersifat simbolis.

Kedua, sebagai simbol, tentu saja, penyembelihan hewan kurban itu membawa pesan penting (esensi), sebagaimana yang terkandung dalam bahasa dan sejarah teologis yang melandasinya. Esensi yang dimaksud adalah bahwa kurban sebagai salah satu cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan.

Ketiga, agar bisa mendekatkan diri kepada Tuhan, maka segala keegoan (baca: penuhanan hawa nafsu) yang merasuki pribadi manusia harus diruntuhkan, dengan simbolisasinya: pengucuran darah dan penyebaran daging hewan kurban kepada khalayak miskin. Dengan demikian; kurban adalah cara pentauhidan kembali nilai ketuhanan manusia, yang mungkin dalam perjalanan setahun ternodai oleh bentuk-bentuk penuhanan terhadap tuhan-tuhan (palsu).

Menyembelih Tuhan Palsu.

Kalimat syahadat “laa ilaaha illaallah” (tiada tuhan kecuali Allah) adalah verbalisasi sikap tauhid seseorang. Sikap tauhid menghendaki agar seseorang menolak tuhan-tuhan (palsu) sembari hanya mengakui Tuhan “asli” yang satu (Allah). Meskipun kerapkali kalimat syahadat tersebut diucapkan, tetapi tidak jarang manusia sering melawan ucapan itu sendiri. Artinya, di samping menyembah Tuhan, manusia juga menuhankan sesuatu yang bukan Tuhan sebagai tuhannya.

Di antara “sesuatu bukan Tuhan” yang sering dipertuhankan manusia adalah hawa nafsu (QS 25:43 dan QS 45:23). Dalam pengertian yang sederhana, penuhanan hawa nafsu adalah penurutan secara membabi buta terhadap segala keinginan bendawi manusia sehingga Tuhan dinomerduakan, dipinggirkan, dan disisihkan.

Dalam konteks sebagai simbol yang beresensikan tauhid, maka pengucuran darah hewan kurban pada dasarnya adalah penggelontoran tuhan-tuhan palsu dari kepribadian manusia. Kurban adalah penyembelihan terhadap kesewenangan, keangkuhan, keserakahan, kerakusan, kezaliman, kebiadaban, kekurangajaran, atau kebinalan yang mewujud menjadi tuhan palsu pada diri manusia. Sebab, selama tuhan-tuhan palsu itu tidak disingkirkan, maka selama itu pula manusia tidak bisa dekat dengan Tuhannya. Bagaimana bisa dekat, jika manusia memiliki kepribadian ganda; di satu sisi merasa membutuhkan Tuhan (percaya kepada Tuhan), tetapi di sisi lain justru berkehendak menjadi tuhan.

Kurban Berbeda dengan Korban.

Setiap tahun mungkin kita berkurban. Tapi kita patut pula bertanya, apakah kurban itu telah mendekatkan diri kita dengan Tuhan, atau justru kita malah selalu menimbulkan korban, karena kita merasa sebagai tuhan atau memiliki tuhan lain? Pertanyaan itu tidak berlebihan sebab dalam kenyataannya masih banyak korban berjatuhan. Ada korban pembunuhan, korban perampokan, korban perkosaan, atau korban penipuan. Ada korban pembangunan, korban (rekayasa) politik, korban kebebasan (baca: kebablasan) pers, korban monopoli ekonomi, atau korban kekuasaan otoriter.

Kurban, bukan korban. Jika kurban adalah sarana kita mendekat kepada Tuhan, maka korban adalah akibat dari sikap sok tuhan kita. Kita tindas rakyat, karena kita merasa sangat berkuasa: kita peras rakyat karena kita merasa menguasainya. Dan bukankah orang membunuh, memperkosa, merampas, menipu, atau melakukan korupsi adalah perwujudan dari ketundukan pada kemauan tuhan hawa nafsunya?

Kurban bukan sekedar sedekah berupa seeokar domba untuk ditebarkan pada fakir miskin. Kurban bukan pula ajang pesta makan daging. Kurban adalah perjuangan mengangkat para korban; yaitu mereka yang ditindas, dizalimi, dan dikalahkan oleh tuhan-tuhan palsu; yang mungkin berupa “aku”: egoku, nafsuku, kekuasaanku; jabatanku, kekayaanku, kepintaranku, kelompokku, golonganku, jamaahku, koranku, partaiku, bangsaku, negaraku, hegemoniku …?

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 34 Tahun ke-4, 17 Maret 2000

Sumber :
http://pojokkata.wordpress.com/2007/11/22/kurban-bukan-korban/
22 November 2007

Waktu Menyembelih Kurban

Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Waktu penyembelihan kurban mulai dari setelah ‘Id di hari raya kurban sampai terbenam matahari pada hari terakhir Tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Sehingga hari penyembelihan adalah empat hari : satu hari di hari raya kurban setelah shalat ‘Id dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih kurbannya sebelum selesai shalat ‘Id atau setelah terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah. Ada yang mengatakan bahwa waktu penyembelihan hanya dua hari setelah ‘Id saja, dan menurut pendapat ini hari penyembelihan hanya tiga hari saja. Tetapi yang rajih adalah pendapat yang pertama.

Dibolehkan menyembelih kurban di waktu siang atau malam, namum penyembelihan di siang hari lebih utama. Setiap hari dari hari-hari penyembelihan lebih utama dari hari setelahnya, karena mendahulukan sembelihan termasuk sikap bersegera melaksanakan ketaatan.

An-Nawawi Rahimahullah berkata : Adapun waktu berkurban, maka sepatutnya menyembelihnya setelah shalat bersama imam dan ketika itu sah secara ijma’. Ibnul Munzdiri Rahimahullah berkata, “Mereka telah berijma’ bahwa penyembelihan kurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari pagi hari raya kurban. ‘Dan mereka berbeda pendapat pada penyembelihan setelahnya’ [1].

Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Mereka sepakat bahwa kurban disyariatkan juga di malam hari sebagaimana disyariatkan di siang hari, kecuali satu riwayat dari Imam Malik dan juga Imam Ahmad [2].

KURBAN SAH UNTUK BERAPA ORANG ?
Satu kurban berupa kambing cukup untuk seorang dari ahli baitnya (keluarganya) dan kaum muslimin yang ia kehendaki, baik masih hidup ataupun sudah wafat. Telah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurbannya, beliau berkata :

“Artinya : Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarda Muhammad dan umat Muhammad”

Sepertujuh untuk unta atau sapi mencukupi dari orang yang cukup untuk satu kambing. Seandainya seorang muslim menyembelih sepertujuh unta atau sapi untuknya dan keluarganya, maka itu adalah sah, dan seandainya untuk tujuh orang brserikat menyembelih kurban atau hadyu, satu unta atau satu sapi, maka itupun sah.

ORANG YANG DISYARIATKAN BERKURBAN
Pada asalnya kurban itu disyariatkan untuk oang yang masih hidup, berdasarkan riwayat yang mengatakan bahwa beliau telah menyembelih hewan kurban untuk diri dan kelaurganya.

Adapun perbuatan sebagian orang yang mendahulukan kurban untuk mayit atas diri dan keluarganya sebagai shadaqah dari mereka, maka amalan ini tidak mempunyai dasar menurut apa yang kami ketahui. Namun, seandainya ia berkurban untuk diri dan keluarganya lalu memasukkan orang-orang yang telah meninggal dunia bersama mereka atau menyembelih kurban untuk mayit secara sendirian sebagai shadaqah darinya, maka hal itu tidak mengapa dan ia mendapat pahala, insya Allah

Adapun kurban untuk orang yang telah meninggal dunia yang merupakan wasiat (orang yang mati) kepadanya, maka ini wajib dilaksanakan, walaupun ia belum berkurban untuk dirinya sendiri, karena ia diperintahkan untuk melaksanakan wasiat tersebut

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Shahiih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/110)
[2]. Fathul Baari (X/8)

Sumber :
http://www.almanhaj.or.id/content/1699/slash/0
16 Desember 2005

Syarat-syarat Hewan Kurban

Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar



Kurban memiliki beberapa syarat yang tidak sah kecuali jika telah memenuhinya, yaitu.

[1]. Hewan kurbannya berupa binatang ternak, yaitu unta, sapi dan kambing, baik domba atau kambing biasa.

[2]. Telah sampai usia yang dituntut syari’at berupa jaza’ah (berusia setengah tahun) dari domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya.

a. Ats-Tsaniy dari unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun
b. Ats-Tsaniy dari sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun
c. Ats-Tsaniy dari kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun
d. Al-Jadza’ adalah yang telah sempurna berusia enam bulan

[3]. Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

a. Buta sebelah yang jelas/tampak
b. Sakit yang jelas.
c. Pincang yang jelas
d. Sangat kurus, tidak mempunyai sumsum tulang

Dan hal yang serupa atau lebih dari yang disebutkan di atas dimasukkan ke dalam aib-aib (cacat) ini, sehingga tidak sah berkurban dengannya, seperti buta kedua matanya, kedua tangan dan kakinya putus, ataupun lumpuh.

[4]. Hewan kurban tersebut milik orang yang berkurban atau diperbolehkan (di izinkan) baginya untuk berkurban dengannya. Maka tidak sah berkurban dengan hewan hasil merampok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua orang yang beserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut.

[5]. Tidak ada hubungan dengan hakl orang lain. Maka tidak sah berkurban dengan hewan gadai dan hewan warisan sebelum warisannya di bagi.
[6]. Penyembelihan kurbannya harus terjadi pada waktu yang telah ditentukan syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka sembelihan kurbannya tidak sah

[Lihat Bidaayatul Mujtahid (I/450), Al-Mugni (VIII/637) dan setelahnya, Badaa’I’ush Shana’i (VI/2833) dan Al-Muhalla (VIII/30).

HEWAN KURBAN YANG UTAMA DAN YANG DIMAKRUHKAN
Yang paling utama dari hewan kurban menurut jenisnya adalah unta, lalu sapi. Jika penyembelihannya dengan sempurna, kemudian domba, kemudian kambing biasa, kemudian sepertujuh unta, kemudian sepertujuh sapi.

Yang paling utama menurut sifatnya adalah hean yang memenuhi sifat-sifat sempurna dan bagus dalam binatang ternak. Hal ini sudah dikenal oleh ahli yang berpengalaman dalam bidang ini. Di antaranya.

a. Gemuk
b. Dagingnya banyak
c. Bentuk fisiknya sempurna
d. Bentuknya bagus
e. Harganya mahal

Sedangkan yang dimakruhkan dari hewan kurban adalah.

[1]. Telinga dan ekornya putus atau telinganya sobek, memanjang atau melebar.
[2]. Pantat dan ambing susunya putus atau sebagian dari keduanya seperti –misalnya putting susunya terputus-
[3]. Gila
[4]. Kehilangan gigi (ompong)
[5]. Tidak bertanduk dan tanduknya patah

Ahli fiqih Rahimahullah juga telah memakruhkan Al-Adbhaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau tanduknya), Al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), Al-Mudaabirah (putus dari bagian belakang telinga), Asy-Syarqa’ (telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), Al-Kharqaa (sobek telinganya), Al-Bahqaa (sebelah matanya tidak melihat), Al-Batraa (yang tidak memiliki ekor), Al-Musyayya’ah (yang lemah) dan Al-Mushfarah [1]

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_________
Foote Note
[1]. Para ulama berselisih tentang makna Al-Mushfarah, ada yang menyatakan bahwa ia adalah hewan yang terputus seluruh telinganya dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah kambing yang kurus. Lihat Nailul Authar (V/123) .-pent

Sumber :
http://www.almanhaj.or.id/content/1711/slash/0
26 Desember 2005

Kurban dan Pensyariatannya

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Hukum Kurban
Kurban merupakan salah satu sembelihan yang disyariatkan sebagai ibadah dan amalan mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang dinyatakan Ibnul Qayyim dalam pernyataannya : “Sembelihan-sembelihan yang menjadi amalan mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah adalah Al-Hadyu, Al-Adhhiyah (Kurban) dan Al-Aqiqah” [1]. Disyariatkannya kuban sudah merupakan ijma yang disepakati kaum muslimin [2]. Namun tentang hukumnya masih diperselisihkan para ulama, yang terbagi dalam beberapa pendapat.

Pertama : Wajib Bagi Yang Mampu
Demikian ini pendapat Abu Hanifah dan Malik. Madzhab inipun dinukil dari Rabi’ah Al-Ra’yi, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad [3] dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal [4]. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah [5]. Dan Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : “Pendapat yang mewajibkan bagi orang yang mampu adalah kuat, karena banyaknya dalil yang menujukkan perhatian dan kepedulian Allah padanya” [6]

Kedua : Sunnah Atau Sunnah Muakkad Bagi Yang Mampu
Inilah pendapat jumhur ulama [7]. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Hazm yang mengatakan : “Tidak shahih dari seorangpun dari para sahabat yang menyatakan wajibnya. Yang benar, menurut jumhur, kurban itu tidak wajib. Dan tidak ada peselisihan, jika ia merupakan salah satu syi’ar agama” [8]

Ketiga : Fardhu Kifayah
Ini merupakan satu pendapat dalam madzhab Syafi’i

Dalil Pendapat Pertama
[1]. Hadits Al-Bara bin Azib, beiau berkata : “Abu Burdah telah menyembelih kurban sebelum shalat (Ied), lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Gantilah”, ia menjawab, “Saya tidak punya kecuali Jaz’ah”. Maka beliau berkata : “Jadikanlah ia sebagai penggantinya, dan hal itu tidak berlaku pada seorangpun setelahmu” [Muttafaq Alaihi]

Orang yang mewajibkan berhujjah dengan hadits ini. Mereka menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Burdah untuk mengulangi penyembelihannya jika telah melakukannya sebelum shalat. Tentunya, hal seperti ini tidak dikatakan, kecuali dalam perkara yang wajib saja.

[2]. Hadits Jundab bin Abdillah bin Sufyan Al-Bajali beliau berkata : “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari Nahar (‘Ied Al-Adha), kemudian berkhutbah lalu menyembelih kurbannya dan bersabda : “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihan yang lain sebagai penggantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelih maka sembelihlah dengan nama Allah” {Muttafaq Alaih]

[3]. Hadits Anas bin Malik, beliau berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barangsiapa yang telah menyembelih sebelum shalat, maka ulangi lagi” [Muttafaq Alaih]

[4]. Hadits Jabir bin Abdillah, beliau berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat di hari Nahar (Iedul Adha) di Madinah. Lalu beberapa orang maju dan menyembelih (sembelihannya) dalam keadaan menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih. Lalu Nabi memerintahkan orang yang menyembelih sebelum Beliau untuk mengulangi sembelihan yang lainnya, dan jangan menyembelih sampai Nabi menyembelih” [9]

Hadits-hadits ini jelas menunjukkan kewajiban kurban. Sebab pada hadits-hadits tersebut terdapat dua hal yang menunjukkan wajib. Pertama : kata perintah, dan Kedua : perintah mengulangi. Tentunya, sesuatu yang bukan wajib, tidak diperintahkan untuk mengulanginya.

Ketiga hadits diatas dikomentari Ibnu Hajar dengan pernyataannya : “Orang yang mewajibkan kurban berdalil dengan adanya perintah mengulangi penyembelihan. Maka hal ini dibantah dengan menyatakan, bahwa yang dimaksud adalah penjelasan syarat penyembelihan kurban yang disyariatkan. Ini seperti pernyataan orang yang shalat sunnah Dhuha sebelum matahari terbit. Jika matahri sudah terbit, maka ulangi shalat kamu” [10]

[5]. Hadits Abu Hurairah, beliau berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang memiliki kemampuan (keluasan rizki) dan tidak menyembelih maka jangan dekati tampat shalat kami” [11]

Hadits ini jelas menunjukkan ancaman kepada orang yang memiliki kemampuan dan enggan menyembelih kurban. Tentunya, Rasulullah tidak akan berbuat demikian, kecuali menunjukkan bahwa itu hukumnya wajib.

Pendapat yang tidak mewajibkan menyatakan, bahwa hadits ini mauquf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah dalam perkara ini. Hal ini dijawab oleh Syaikh Al-Albani dalam pernyataan beliau : “Hadits ini diriwayatkan secara mauquf oleh Ibnu Wahab. Namun ziyadah tsiqah ini diterima. Abu Abdurahman Al- Muqri sebagai sangat tsiqah (kredibel)” [12]

Kemudian, pendapat yang tidak mewajibkan menjawab, anggap saja haditsnya hasan, namun juga tidak tegas dalam menunjukkan kewajibannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar : “Yang menjadi dasar yang kuat, yang dipegangi oleh pendapat yang mewajibkan, ialah hadits Abu Hurairah ini. Namun diperselisihkan apakah marfu atau mauquf? Mauquf lebih dekat kepada kebenaran, sebagaimana pendapat Ath-Thahawi dan selainnya. Walaupun marfu’, hadits ini juga tidak tegas dalam menunjukkan wajibnya” [13]

[6]. Hadits Mikhnaf bin Sulaim, ia berkata : “Kami bersama Rasulullah dan Beliau wukuf di arafah, lalu berkata, “Wahai, manusia. Sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap tahunnya kurban dan ‘atirah”. Beliau berkata, “Tahukah kalian, apakah ‘atirah itu? Yaitu yang dikatakan orang rajabiyah” [14]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Demikian juga orang yang mewajibakan berhujjah dengan hadits Mikhnaf bin Sulaim ini yang diriwayatkan Ahmad dan imam yang empat dengan sanad yang kuat, namun tidak ada hujjah disana, karena shighahnya (katanya) tidak tegas menunjukkan wajib secara muthlak, dan juga disebutkan bersamanya ‘al-athirah’ yang tidak dianggap wajib oleh orang yang berpendapat wajibnya kurban” [15]

Dalil Pendapat Kedua
[1]. Hadits Ummu Salamah, beliau berkata : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban, maka jangan memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya” [16]

Imam Syafi’i berkata : “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa kurban tidak wajib, dengan dasar sabda Nabi. Beliau menyerahkan kepada kehendak. Seandainya memang wajib, tentunya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan “maka janganlah memortong rambutnya sampai menyembelih” [17]

Pendapat yang mewajibkan, membantah dalil ini dengan menyatakan : Hadits ini bukan berarti menunjukkan tidak wajibnya kurban secara muthlak, karena kami mewajibkan dengan syarat mampu. Demikian juga hadts ini dapat dipahami dengan makna orang yang ingin menyembelih dengan sebab memiliki kemampuan, maka jangan mengambil (memotong) rambut dan kukunya sampai menyembelih, dengan dalil riwayat lain yang diriwayatkan Imam Muslim yang tidak menyebutkan kata (arada), yaitu sabda Rasulullah.

“Artinya : Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelih dan tampak hilial Dzulhijjah, maka jangan memotong sedikitpun rambut dan kukunya sampai menyembelih” [18]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Orang yang tidak mewajibkan, tidak memiliki nash dalam hal ini. Mereka menyatakan, kewajiban tidak disandarkan kepada kehendak (iradah). Dmeikian ini adalah pernyataan global, karena memang kewajiban tidak diserahkan kepada kehendak hamba, sehingga dikatakan jika kamu mau, berbuatlah. Namun, terkadang kewajiban disandarkan kepada syarat untuk menjelaskan hukumnya, seperti firman Allah.

“Artinya : Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah” [Al-Maidah : 6]

Dan mereka mengartikannya. Jika kalian ingin melaksanakan dan memaknakan. Jika ingin membaca Al-Qur’an, maka berta’awudz. Padahal thaharah, merupakan wajib, dan membaca Al-Qur’an dalam shalat wajib juga” [19]

[2]. Hadits Jabir, beliau berkata : “Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Ied Al-Adha di Mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya. Beliau turun dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung, dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)” [20]

Mereka menyatakan : “Seandainya kurban diwajibkan, tentunya orang yang meninggalkannya berhak dihukum dan tidak bisa dianggap cukup. Lalu bagaimana dengan sembelihan Rasulullah tersebut ? Sehingga sabda beliau.

“hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati”

Yang disampaikan secara mutlak tanpa perincian ini merupakan dalil tidak wajibnya kurban.

Asy-Syaukani berkata : “Sisi pendalilan hadits ini dan yang semakna dengannya atas tidak wajibnya kurban ialah, secara dhahir menunjukkan bahwa kurban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya dan keluarganya, mencukupkan orang yang tidak menyembelih kurban, baik mampu atau tidak mampu. Hal ini mungkin dijawab, bahwa hadits “inni ‘ala kulli ahli baity fii kulli aamin udhhiyah” yang menunjukkan kewajiban menyembelih kurban bagi ahli bait yang mampu, menjadi indikator bahwa kurban Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut untuk orang yang tidak mampu saja. Seandainya benar yang disampaikan Al-Mudda’i (pendapat yang tidak mewajibkan,-pent), maka tidak dapat menjadi dalil tidak wajibnya kurban. Karena, titik perselisihannya adalah pada orang yang menyembelih untuk dirinya sendiri, dan bukan orang yang disembelihkan orang lain. Sehingga tidak wajibnya pada orang yang ada pada zaman Beliau dari umat ini, mengharuskan tidak wajibnya pada orang yang berada di luar zaman Beliau” [21]

[3]. Atsar Abu Bakr dan Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sarihah Al-Ghifari, beliau berkata. “Aku mendapati Abu Bakar atau melihat Abu Bakr dan Umar tidak menyembelih kurban –dalam sebagian hadits mereka- khawatir dijadikan panutan” [22]

Seandainya kurban diwajibkan, tentu keduanya orang yang pantas mengamalkannya. Akan tetapi, keduanya memahami hukum kurban tersebut tidak wajib.

Pendapat Yang Rajih
Syaikh Muhammad Al-Amin Al-Syinqithi berkata : “Saya telah meneliti dalil-dalil sunnah pendapat yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan, dan keadaannya dalam pandangan kami. Bahwa tidak ada satupun dalil dari kedua pendapat tersebut yang tegas, pasti dan selamat dari bantahan, baik yang menunjukkan wajib maupun yang tidak wajib”. Kemudian Syaikh berkata : “Yang rajih bagi saya dalam perkara seperti ini, yang tidak jelas penunjukkan nash-nash kepada satu hal tertentu dengan tegas dan jelas adalah berusaha sekuat mungkin keluar dari khilaf. Sehingga, berkurban bila mampu, karena Nabi bersabda, “Tinggalkanlah yang ragu kepada yang tidak ragu. “. Sepatutnya, seseorang tidak meninggalkanya bila mampu, karena menunaikannya itu sudah pasti menghilangkan tanggung jawabnya, Wallahu a’lam” [23]

Yang rajih –wallahu a’lam- dalam permasalahan ini, yaitu pendapat jumhur ulama. Karena seandainya tidak ada satu pun dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaiahi wa sallam yang secara pasti menunjukkan rajihnya salah satu pendapat tersebut, namun amalan Abu Bakr dan Umar dapat dijadikan faktor yang dapat merajihkan pendapat jumhur. Sebab hal ini merupakan pengamalan perintah Rasulullah dalam hadits Irbadh bin Sariyah yang berbunyi.

“Artinya : Sungguh, barangsiapa diantara kalian yang hidup sesudahku, maka akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya untuk memegangi sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin.

Keduanya termasuk dari Khulafa Ar-Rasyidin menurut kesepakatan kaum muslimin. Hal ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz : “Karena jika mereka mengikuti Abu Bakr dan Umar, niscaya mendapati petunjuk”.

Juga adanya riwayat atsar dari Ibnu Umar, Abu Mas’ud Al-Anshari dan Ibnu Abbas yang menunjukkan tidak wajibnya kurban. Wallahu a’lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Kholid Syamhudi Lc. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Abdul Aziz bin Muhammad Ali Salman, Ithaf Al-Muslimin Bima Tayassara Min Ahkam Ad-Din, Ilmun wa Dalilun, Cet. II, Th 1403H, hal. 2/505
[2]. Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni (11/94) dan Ibnu Hajar, Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, tanpa cetakan dan tahun, Al-Maktabah Al-Salafiyah 10/3
[3]. Lihar Dr Ahmad Muwafi, Taisir Al-Fiqhi Al-Jami Li Likhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, Cetakan Pertama, Tah 1416H, Dar Ibnu Al-Jauzi, Dammam, KSA (3/1210)
[4]. Lihat makalah Abu Bakr Al-Baghdadi yang yang berjudul Juzun Fi Udhhiyah wa hukmu Ikhrajiha An Balad Al-Mudhahi, Majalah Al-Hikmah, hal 22 tanpa edisi dan tahun
[5]. Lihat Taisir Al-Fqh, op.cit (3/1208) menukil dari Majmu Fatawa (23/162)
[6]. Lihat Ibnu Utsaimin, Syarhu Al-Mumti Ala Zaad Al-Mustaqni, Tahqiq Khalid bin Ali Al-Musyaiqih dan Sulaiman Aba Khail, Cet 1, Th 1416H, Muassasah Asaam, Riyadh KSA (7/519)
[7]. Lihat An-Nawawi, Majmu Syarhu Al-Muhadzdzab, Tahqiq Muhammad Najib Al-Muthi’i, tanpa cetakan dan tahun, Daar Ihya Al-Turats Al-Arabi (8/354).
[5]. Lihat Fathul Bari, op.cit (10/3)
[9]. Diriwayatkan Imam Muslim No. 1.964
[10]. Fathul Bari (10/4)
[11]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. 3.123 dan Al-Khathib (8/338) dari Zaid bin Al-Hubab,Al-Hakim (2/389) dan Ahmad (2/321) dari Abdullah bin Yazid Al-Muqri dan Abu Bakr Asy-Syairazi dalam Sab’at Majalis Min Al-Amani dari Muhammad bin Sa’id. Mereka bertiga meriwayatkan dari Abdullah bin Iyasy dari Abdurrahman Al-A’raj dari Abu Hurairah secara marfu. Diambil dari Takhrij Ahadits Musykil Al-Faqr, karya Al-Albani, Cetakan Pertama,Tahun 1405H, Al-Maktab Al-Islami Beirut, hal.67-68
[12]. Takhrij Ahadits Musykil Al-Fqr, op.cit,hal.68
[13]. Fathul Bari, op.cit 910/3)
[14]. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (4/215), Abu Dawud no.2.788, At-Tirmidzi no.1.518, An-Nasa’i 7/167 dan Ibnu Majah no. 3125. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah no.1478 dan Shahih Al-Jaami.
[15]. Fathul Bari op.cit 10/4
[16]. Diriwayatkan Muslim no. 5089
[17]. Lihat Majmu Syarhu Al-Muhadzdzab op.cit 8/356
[18]. Diriwayatkan Imam Muslim no. 5093
[19]. Majmu Fatawa 23/164
[20]. Syaikh Al-Albani berkata : Haditsn shahih diriwayatkan Abu Daud 2810 dan Tirmidzi 1/287, lihat Irwa Al-Gahlil 4/349 no. 1138
[21]. Muhammad bin Ali Al-Syaukani, Nailul Authar Min Ahadits Sayidil Ahyaar Syarhu Muntaqa Al-Akhbaar, tahqiq Muhamamd Salim Hasyim, cetakan pertama tahun 1415H. Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut hal. 5/117
[22]. Diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 9/295 dan dishahihkan Al-Albani.Lihat Irwa Al-Ghalil Fi Takhrij Ahaadist Manaar Al-Sabil, karya Syaikh Al-Albani cetakan ke 2 tahun 1405H, Al-Maktab Al-Islami no. 1139 hal 4/355
[23]. Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Jakni Al-Syinqithi, Adhwaa Al-Bayaan Fi Idhah Al-Qur’an bin Qur’an, tanpa tahun dan cetakan, Alam Al-Kutub Beiurt 5/618

Sumber :
http://www.almanhaj.or.id/content/2013/slash/0
30 Desember 2006