Minggu, 08 November 2009

Kurban, Bukan Korban

Penyembelihan hewan kurban tidak dimaksudkan sebagai ajang latihan “menciptakan”korban

Terminologi “kurban” berbeda dengan “korban”. Kurban secara bahasa bermakna “mendekatkan”, dari kata qorroba, yuqarribu, qurbanun. Secara syar’i sebagaimana sunah Rasulullah SAW—kurban adalah penyembelihan hewan ternak (domba, sapi, atau unta) sebagai salah satu rangkaian perayaan Idul Adha (Hari Raya Haji).

Secara teologis, kurban adalah penapakan atas jejak tauhid nabi-nabi lewat kisah “pengurbanan” Ismail oleh Ibrahim; sebuah kisah yang menunjukkan betapa Ibrahim sanggup mempertaruhkan apa saja—termasuk perintah penyembelihan Ismail—demi kepatuhannya kepada Tuhan. Dengan memahami tiga elemen kurban di atas (bahasa, syar’i, dan teologis), maka setidaknya ada tiga pemahaman penting yang tidak boleh dilepaskan dari ibadah kurban.

Pertama, meskipun secara material mengandung sejumlah manfaat (dagingnya bisa dibagikan dan dikonsumsi fakir miskin), tetapi sesungguhnya penyembelihan hewan kurban lebih bersifat simbolis.

Kedua, sebagai simbol, tentu saja, penyembelihan hewan kurban itu membawa pesan penting (esensi), sebagaimana yang terkandung dalam bahasa dan sejarah teologis yang melandasinya. Esensi yang dimaksud adalah bahwa kurban sebagai salah satu cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan.

Ketiga, agar bisa mendekatkan diri kepada Tuhan, maka segala keegoan (baca: penuhanan hawa nafsu) yang merasuki pribadi manusia harus diruntuhkan, dengan simbolisasinya: pengucuran darah dan penyebaran daging hewan kurban kepada khalayak miskin. Dengan demikian; kurban adalah cara pentauhidan kembali nilai ketuhanan manusia, yang mungkin dalam perjalanan setahun ternodai oleh bentuk-bentuk penuhanan terhadap tuhan-tuhan (palsu).

Menyembelih Tuhan Palsu.

Kalimat syahadat “laa ilaaha illaallah” (tiada tuhan kecuali Allah) adalah verbalisasi sikap tauhid seseorang. Sikap tauhid menghendaki agar seseorang menolak tuhan-tuhan (palsu) sembari hanya mengakui Tuhan “asli” yang satu (Allah). Meskipun kerapkali kalimat syahadat tersebut diucapkan, tetapi tidak jarang manusia sering melawan ucapan itu sendiri. Artinya, di samping menyembah Tuhan, manusia juga menuhankan sesuatu yang bukan Tuhan sebagai tuhannya.

Di antara “sesuatu bukan Tuhan” yang sering dipertuhankan manusia adalah hawa nafsu (QS 25:43 dan QS 45:23). Dalam pengertian yang sederhana, penuhanan hawa nafsu adalah penurutan secara membabi buta terhadap segala keinginan bendawi manusia sehingga Tuhan dinomerduakan, dipinggirkan, dan disisihkan.

Dalam konteks sebagai simbol yang beresensikan tauhid, maka pengucuran darah hewan kurban pada dasarnya adalah penggelontoran tuhan-tuhan palsu dari kepribadian manusia. Kurban adalah penyembelihan terhadap kesewenangan, keangkuhan, keserakahan, kerakusan, kezaliman, kebiadaban, kekurangajaran, atau kebinalan yang mewujud menjadi tuhan palsu pada diri manusia. Sebab, selama tuhan-tuhan palsu itu tidak disingkirkan, maka selama itu pula manusia tidak bisa dekat dengan Tuhannya. Bagaimana bisa dekat, jika manusia memiliki kepribadian ganda; di satu sisi merasa membutuhkan Tuhan (percaya kepada Tuhan), tetapi di sisi lain justru berkehendak menjadi tuhan.

Kurban Berbeda dengan Korban.

Setiap tahun mungkin kita berkurban. Tapi kita patut pula bertanya, apakah kurban itu telah mendekatkan diri kita dengan Tuhan, atau justru kita malah selalu menimbulkan korban, karena kita merasa sebagai tuhan atau memiliki tuhan lain? Pertanyaan itu tidak berlebihan sebab dalam kenyataannya masih banyak korban berjatuhan. Ada korban pembunuhan, korban perampokan, korban perkosaan, atau korban penipuan. Ada korban pembangunan, korban (rekayasa) politik, korban kebebasan (baca: kebablasan) pers, korban monopoli ekonomi, atau korban kekuasaan otoriter.

Kurban, bukan korban. Jika kurban adalah sarana kita mendekat kepada Tuhan, maka korban adalah akibat dari sikap sok tuhan kita. Kita tindas rakyat, karena kita merasa sangat berkuasa: kita peras rakyat karena kita merasa menguasainya. Dan bukankah orang membunuh, memperkosa, merampas, menipu, atau melakukan korupsi adalah perwujudan dari ketundukan pada kemauan tuhan hawa nafsunya?

Kurban bukan sekedar sedekah berupa seeokar domba untuk ditebarkan pada fakir miskin. Kurban bukan pula ajang pesta makan daging. Kurban adalah perjuangan mengangkat para korban; yaitu mereka yang ditindas, dizalimi, dan dikalahkan oleh tuhan-tuhan palsu; yang mungkin berupa “aku”: egoku, nafsuku, kekuasaanku; jabatanku, kekayaanku, kepintaranku, kelompokku, golonganku, jamaahku, koranku, partaiku, bangsaku, negaraku, hegemoniku …?

Mohammad Nurfatoni

Dimuat Buletin Jumat Hanif, No. 34 Tahun ke-4, 17 Maret 2000

Sumber :
http://pojokkata.wordpress.com/2007/11/22/kurban-bukan-korban/
22 November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar